-->

Kamis, 03 Januari 2013

Mengapa Anak Tak Mau Curhat Pada Orangtua?

Image from: republika.co.id
Sumber: yuk jadi orangtua shalih
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Fasilitator Pendidikan Orangtua di 20 Propinsi, 70 kota di Indonesia
Direktur Auladi Parenting School
www.auladi.org

Membuat anak curhat itu tidak sesulit seperti Anda berbicara yang harus menyesuaikan tata bahasa logis atau tidak logis atau harus menyesuaikan kalimat-kalimat. Anda hanya harus diam dan bersabar untuk tidak buru-buru menceramahinya saat anak-anak mengeluarkan perasaan dan pikirannya. Sesekali Anda juga memancing mereka dengan pertanyaan-pertanyaan.

Curhat, bahasa gaul dari mencurahkan perasaan, adalah sarana sederhana, tapi dampak positifnya sungguh tak sesederhana itu. Saat seseorang curhat, maka seseorang juga dapat ‘membersihkan’ perasaan-perasaan negatifnya dengan melalui mulut. Anda pernah curhat bukan? Pernahkah Anda merasakan perasaan “plong” saat Anda curhat pada teman? Padahal, teman Anda hanya diam saja dan khusyuk mendengarkan, padahal sebagian teman Anda yang mendengarkan curhat Anda bahkan tidak memberi solusi apapun. Tapi, Anda tetap saja merasakan perasaan nyaman.

Curhat itu seperti pisau, jika dimanfaatkan dengan baik oleh orang yang tepat dan disalurkan dengan orang yang tepat maka ia menjadi sarana lebih baik untuk melapangkan perasaan lebih positif. Tetapi, sebagaimana pisau, jika tidak digunakan dengan baik dan disalurkan pada orang yang tidak tepat, justru dapat berakibat negatif.

Mungkin Anda pernah ingat kejadian seorang gadis yang disangka ‘diculik’ oleh seorang lelaki yang dikenalnya lewat facebook? Apa lacur, ternyata gadis ini setelah dikembalikan orangtuanya malah menangis karena harus berpisah dengan lelaki yang sering jadi tempat curhatnya ini. Remaja ini ternyata merasa nyaman untuk mengungkapkan keluh kesah, perasaan-perasaannya, mencurahkan pikiran-pikiran dan apa yang menjadi gejolak hatinya pada lelaki teman facebooknya. Pertanyaannya, mengapa anak gadis ini tidak melakukannya pada orangtuanya?!

Ayah Ibu, seharusnya kitalah yang menjadi tempat paling nyaman anak kita untuk curhat! Bukan orang lain! Bagaimana bisa seorang anak tak mau bercerita pada orangtuanya tetapi mau bercerita dan bicara pada orang lain? Pasti ada yang salah dengan kita bukan?

Periksalah barangkali selama ini kita yang ‘mendominasi’ perkataan-perkataan di rumah. Seorang ibu peserta kursus orangutan yang saya selenggarakan pernah berkata bahwa ia setiap hari meluangkan waktu untuk bicara kepada anak, tetapi meski ia sering bicara, mengapa anak ini semakin lama semakin sering menghindar dan sering berkata “sudahlah ma aku mau istirahat?”

Saya lalu balik bertanya kepada ibu ini, coba periksa siapakah yang selama ini berbicara? Orangtua atau anak? Dan ia jujur mengakui bahwa yang banyak bicara selama ini adalah dirinya, bukan anaknya. Pantas saja ibu ini merasa dekat dengan anak, tapi anaknya tak merasa dekat dengan ibunya. Dekat secara emosional maksudnya, ketika seseorang curhat pada anak secara alamiah orang ini akan merasa dekat dengan Anda dan hey periksa, apakah Anda selama ini sering curhat sama orang tertentu? Bukankah jadi merasa lebih dekat dengan orang tersebut?

Ada juga orangtua yang berkata pada saya bahwa ia sudah benar-benar mau mengajak anak bicara, tapi tetap saja anaknya tak mau bicara. Bungkam! Tak mau terbuka dengan orangtua.

Hey, ayah bunda, coba periksa kapankah kita ngajak anak kita bicara? Silahkan jawab pertanyaan saya berikut ini:

- Lebih sering mana Anda ngajak bicara anak: pada saat bermasalah atau pada saat tidak bermasalah?
- Lebih sering mana Anda ngajak bicara anak: pada hal yang serius atau juga pada hal yang sepele?
- Lebih sering duluan mana Anda lakukan: menasihati anak saat dia bermasalah atau membuat anak membiarkan menceritakan masalahnya, kekecewaannya, kesedihannya?

Jika jawaban Anda lebih banyak yang bagian pertama dari pada yang bagian kedua, aduh.. jangan harap deh anak Anda mau curhat pada Anak. Jika Anda lebih sering mengajak anak bicara pada saat bermasalah daripada tidak bermasalah, ya jelaslah anak tidak akan nyaman bicara!

Pada saat anak bermasalah, otaknya membeku, tegang! Jangankan nasihat, lah kalau lagi tegang, kita dapat merasakannya sendiri, makanan aja susah masuk, apatah lagi nasihat!

Coba periksa siapa yang jadi nyaman makan saat Anda dengan pasangan berantem? Coba periksa siapa yang jadi nyaman makan saat mendengar orangtua kita meninggal dunia? Rasanya tidak nyaman kan? Sekali lagi, jangankan terbuka bicara, perutnya pun tak bisa terbuka menerima makanan

Sebagian orangtua mengajak anak bicara lebih sering pada saat bermasalah, akibatnya ya begitu, anak susah bicara. Akhirnya orangtua nyerah dan kemudian keluarlah kalimat pamungkas “Kenapa diam? Maunya kamu apa! Ayo bicara!”.

Pernah mendengar kalimat semacam itu? Jangan pernah berkata sikap dengan kalimat ini dapat membuat anak curhat. Yang sebenarnya terjadi dengan kalimat ini adalah tanda-tanda orangtua sudah kebingungan “tidak tahu harus ‘diapain’ lagi anaknya.”

Ayah Ibu, jangan pernah ya berharap anak kita akan terbuka sama kita, mau nyaman bicara dengan kita, jika kita hanya mengajak anak bicara saat nilai raport mereka jelek, pada saat mereka dilaporkan gurunya sekolah, pada saat anak Anda pulang terlalu larut, pada saat anak Anda ketahuan lebam-lebam, pada saat Anda mendapat aduan dari tetangga.

Apakah pada saat kejadian-kejadian ini berarti harus kita biarkan, kita abaikan dan sama sekali tidak boleh mengajak anak bicara? Tentu saja tidak. Maksud saya adalah, jika kita hanya mengajak bicara lebih banyak pada saat kejadian-kejadian “bermasalah” ini maka akibatnya seperti yang sudah dibahas: anak tegang, otak membeku, maka menjadi tidak nyamanlah suasana komunikasi.

Dalam perspektif yang mirip, pernahkah Anda mendengar orangtua berkata “harus berapa kali papa nasihatin! Kamu dengar nggak sih?”

Mengapa sebagian nasihat tidak masuk? Seolah masuk telinga kanan keluar telinga kanan, alias mental! (Kalau masuk telingan kanan keluar telinga kiri, mendingan tuh!). Ini akibat tadi, anak tak nyaman mengungkapkan dan mengeluarkan apa yang dirasakan atau yang dipikirkannya. Komunikasi di rumah cenderung satu arah.

Diibaratkan sebuah gelas yang sudah terisi penuh air, apa yang akan terjadi jika Anda isi dengan air lagi? Tumpah kan? Banyak nasihat tak masuk “gelas” alias pikiran anak gara-gara yang Anda di gelas ini tidak dikeluarkan dulu. Akibat “overdosis” nasihat, maka banyak nasihat menjadi sia-sia! Sudah cape bicara panjang kali lebar kali tinggi, eh nggak masuk pula! Siapa yang rugi akhirnya? Kita sendiri sebagia orangtua kan?

Karena itu, agar curhat dapat bermanfaat positif, mari kelola sarana ini dengan lebih baik. Bukan hanya untuk anak kita, tapi juga kita sendirinya. Mengapa tidak sarana ini kita manfaatkan untuk mengelola emosi anak-anak kita.

Yuk kita lakukan PR sederhana ini di rumah dan katakana pada diri kita “Insya Allah, mulai hari ini saya bisa jadi tempat curhat terbaik untuk anak saya dengan cara:

- Akan banyak mengajak anak bicara pada saat tidak bermasalah, sebelum bermasalah
- Akan banyak mengajak anak bicara pada hal yang disukai anak, bukan hanya yang disukai saya, orangtuanya
- Akan mendengarkan apa yang dirasakan dan dipikirkan anak lebih dulu, sebelum memberi nasihat-nasihat!
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar