-->

Kamis, 27 September 2012

Mengatasi Anak Suka Memukul

Sumber: di sini

Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari

Instruktur Pelatihan Orangtua di 18 Propinsi, 60 kota di Indonesia

inspirasipspa@yahoo.com

Ketika saya membuat tulisan “Ketika Anak Disakiti Temannya”, saya ingin mengajak orangtua memposisikan diri sebagai orangtua yang dalam kondisi jika anaknya dalam keadaan disakiti temannya. Tetapi tulisan kali ini saya mengajak orangtua mengambil respon tepat jika kita dalam posisi orangtua yang menyakiti temannya.

Tidak dipungkiri, ada sebagian orangtua yang merasa senang jika anak justru menjadi ‘leader’ dan mampu menjadi pengendali di lingkungan teman bermainnya dan tidak dipungkiri pula jika ada yang memiliki potensi-potensi kepemimpinan ini, meski dalam skala kecil yaitu teman permainan. Anak-anak ini biasanya adalah anak-anak yang ketika bermain dengan teman-temannya ia selalu menjadi pengatur permainan, memoderasi teman-temannya yang lain.

Tentu saja anak-anak yang punya potensi leader itu sangat baik. Anak-anak ini bisa menjadi potensi pemimpin-pemimpin masa depan. Tetapi, meski itu baik, ada batas-batas tertentu yang diterima dan batas-batas yang tidak diterima. Saat anak melakukan melampaui batas orangtua seharusnya membimbing anak untuk tegas tidak melewatinya. Jika tidak, maka dia hanya akan menjadi pemimpin yang sewenang-wenang di masa depan.

Pertanyaannya, sudahkah orangtua memberikan batasan yang jelas tentang hal ini?

Misalnya seperti perkataan berikut “Abah saat anak saya dipukul temannya, orangtua teman anak saya yang memukul malah diam saja. Mungkin alasannya adalah urusan anak. Orangtua nggak usah ikut campur”, ini adalah bentuk tidak adanya batasan yang jelas. Pemahaman orangtua tidak ikut campur ada batasannya. Tidak mungkin kan misalnya orangtua harus nunggu anaknya saling lempar batu hingga berdarah baru orangtua bertindak?

Jadi, batasannya seperti apa? Kita mulai dari, seperti biasa, curhat dari para orangtua pada saya. Untuk diketahui, curhat tentang anaknya yang memukul adalah curhat yang paling saya dengar saat saya mengisi sesi-sesi seminar untuk orangtua. Saya ambil dua curhat yang mirip.

“Abah, anak saya yang berusia 5 tahun, laki-laki, mulai pintar menjawab dan mulai meniru teman-teman sekolahnya "memukul"! Setiap kali dia punya masalah, baik itu dengan adik, bapak, teman, sepupunya, dia akan memukul orang tersebut lalu meninggalkannya. Perlukah hukuman kami terapkan?”

 Pertanyaan sejenis, “Abah bagamana kalau anak kita suka memukul (3 tahun)? Kalau ada temannya tidak sesuai yang dia maksud dia pukul padahal selama ini berusaha mendidik dengan kelembutan, anak tidak pernah diajarkan memukul lho?”
---
Anak-anak pada awalnya belum bisa memahami tentang nilai baik dan buruk. Pun demikian dengan perbuatan-perbuatan seperti: menggigit, memukul, mendorong, menendang, menarik, berteriak, menjambak atau yang sejenis ini, mereka tidak faham tentang bahwa perbuatan-perbuatan ini baik atau buruk.

Anak-anak ini sampai dia dapat membedakan mana tangan kanan dan mana tangan kiri, mereka belum terang betul tentang nilai baik dan buruk atau sampai orang dewasa di sekitarnya mengenalkan nilai baik dan buruk tersebut.

Anak-anak ini tengah mengujicoba perilaku. Anak-anak ini dengan otak sederhanya, semacam melakukan penelitian-penelitian perilaku, meski mungkin tidak ilmiah. Coba ingat-ingat, bukankah sebagian Anda masih ingat ketika kecil dulu, pada saat apa meminta paling tepat pada orangtua? Ya betul, ketika ada tamu! Siapa yang mengajarkan? Tidak ada! Darimana kita tahu kalau ada tamu, orangtua sering ngasih? Ya dari ujicoba perilaku kita bukan?

Lepas dari diajarkan teman atau tidak, lepas dari pernah melihat tayangan kekerasan di televisi atau tidak, hampir semua anak akan mencoba melakukan salah satu tindakan tadi. Apalagi dapat contoh yang nyata dari teman atau televisi.

Sebagaimana tubuh, dalam otaknya, secara alamiah anak-anak memiliki semacam sistem pertahanan tubuh yang sudah diinstallkan otomatis oleh Allah dalam otaknya. Bagian otak ini saya kutip dari buku “accellerated learning” adalah bagian otak reptil. Saat manusia merasa terancam, dimulai dari anak-anak, mereka mulai mengembangkan sistem pertahanan tubuhnya tersebut: lari atau lawan! Misalnya saat seorang anak, maka anak yang dipukul temannya hanya akan memiliki dua kemungkinan tindakan: “lari” (dari masalah) dengan cara lari beneran, lapor orangtua, diam saja ketika dipukul sampai nangis atau kemungkinan kedua yaitu “lawan” dengan cara “balas memukul sampai berantem fisik betulan”.

Demikian juga saat dia merasa tidak nyaman, saat dia merasa dirugikan, saat merasa kepentingannya terganggu, hampir semua anak akan melakukan salah satu tindakan berikut: menggigit, memukul, mendorong, menendang, menarik, berteriak, menangis, ngamuk, menjambak atau yang sejenis ini, mereka tidak faham tentang bahwa perbuatan-perbuatan ini baik atau buruk. Bagaimana kalau anak melakukan semuanya? Wah anak “istimewa” berarti semua sistem pertahanan tubuhnya dia ujicoba.

Yang jadi sasaran bisa siapa saja seperti curahan hati orangtua yang suda saya sebutkan tadi: ibunya, ayahnya, sepupunya, nenek kakeknya, kakaknya, pembantunya, temannya atau siapapun yang merasa menjadi pihak yang mengganggu kepentingan anak ini. Anak saya nomor tiga, perempuan, waktu berusia 4 tahun, justru malah sering ‘nangisin’ kakaknya yang laki-laki, usia 7 tahun. Tapi meski demikian, secara umum, yang paling sering adalah pihak yang lebih lemah dari dirinya: adik, teman yang lebih kecil, anak perempuan (oleh anak laki-laki).

Ok, jadi apa yang harus dilakukan? Orangtua harus melakukan tindakan! Tindakan di “TKP” tentu berbeda dengan tindakan di luar “TKP.

Ini tindakan yang dapat orangtua lakukan di “TKP”. Pertama, saat anak memukul hentikkan segera! Jangan pernah biarkan berlanjut. Kalau Anda seorang ibu yang dipukul anaknya, jangan sekadar ngomong “mama sakit, berhenti!”, bukan, bukan sekadar itu. Tapi pegang tangannya, lalu setelah baru ngomong “berhenti, mama sakit” ucapkan dengan tenang tapi tegas! Atau saat memukul temannya “berhenti, temannya bisa sakit!”.

Saat Anda mengucapkan kalimat itu, Anda harus kontak dengan matanya, tatap mata anak Anda dengan serius. Ini menunjukkan bahwa Anda benar-benar “mean” atau bermaksud menyatakan itu dengan serius.

Sebagian orangtua saat dipukul anaknya diam dan malah memenuhi keinginan anak yang tadi ditolaknya sendiri “sudah jangan pukul mama, mama sakit, ini uangnya, beli es krim sana”. Lalu dalihnya, “daripada saya dipukul-pukul terus dan daripada nangis dan ngamuk terus-terusan? Ya saya kasih aja es krim nya?” Tindakan ini justru malah makin mengekalkan perbuatan buruk anak Anda sendiri.

Tahukah Anda apa yang akan terjadi kemudian? Dalam pikirannya jika itu terus-terusan terjadi anak akan memiliki rumus “semakin orangtua diganggu, semakin mendekati ya”. Hari ini nangis, besok tambah teriak, besok besok tambah guling-guling, besok-besok tambah mukul orangtua dan yang paling bahaya adalah ketika anak berhasil pada titik “ngancam” orangtua saat keinginannya tidak dipenuhi seperti “kalau ayah nggak mau beliin mainan, aku nggak mau makan” atau “kalau mama nggak belikan itu, aku nggak mau sekolah”.

Dan ini kenyataan yang diceritakan oleh sebagian orangtua pada saya, di Bandung ada seorang anak SD saat keinginannya tidak dipenuhi ada yang naik ke genteng, lalu mengancam “Kalau mama nggak beliin playstation, aku loncat nih!” atau seorang ibu di Blangpidie Aceh berkata saat anaknya yang masih TK minta jajan lalu nggak dipenuhi anaknya selalu megang pisau lalu berkata “kalau mama nggak beliin, nanti abang bunuh diri nih!” saya tidak bermaksud menakut-nakuti Anda “segitunya”, tapi saya hanya ingin mengatakan bahwa kejadian-kejadian yang sudah parah ini tidak datang dengan sendirinya.

Inilah akibat dari orangtua tidak konsisten, tidak tegas dan terus membiarkan apa yang dilakukan anaknya! Perhatikan, bertindak lembut pada anak itu boleh tapi maaf “haram!” hukumnya lembek pada anak! Bertindak lembut pada anak adalah tanda kasih sayang, tapi bertindak lembut tidaklah sama dengan harus memenuhi semua keinginan anak atau lembek pada anak. Demikian juga anak merasa marah, ngambek, nangis, capek, letih, lapar, bosan, juga boleh, tapi cara menyalurkannya yang harus terus kita bimbing sehingga tidak membahayakan dirinya dan tidak merugikan orang lain.

Saat anak memukul, awalnya anak hanya mengujicoba perilaku dan sebagai bentuk ekspresi marah, tidak suka, ada ketidaknyamanan. Tapi saat anak memukul orangtua, lalu orangtua yang dipukul anak tadi diam dan hanya ngomong “mama sakit” justru anak akan tau bahwa anak merasa dapat mengendalikan situasi dan bukan orangtua yang megendalikan situasi.

Saya ingin menjelaskan panjang lebar tentang hal ini agar terang benderang mengapa kita tidak boleh diam saat anak memukul. Sekali lagi kita harus menunjukkan ketidaksetujuan kita pada anak saat anak melakukan sebuah perbuatan yang tidak baik. Katakan bahwa anda tidak suka, katakan bahwa anda kecewa, sedih... tunjukkan melalui kata-kata tegas tapi tidak keras.. boleh tunjukkan ekspresi kekecewaan Anda, sambil memegang tangannya.

Saat anak Anda dipegang, mungkin dia akan meronta-ronta, mungkin dia akan menangis, mungkin dia akan menjerit-jerit. Apapun yang terjadi jangan pernah ‘kalah’ dengan keadaan ini. Anda harus dapat mengendalikannya dan bukan membiarkannya di lepas dan lalu memukul lagi. Jika anak nangis, tidak usah dipegang lagi jika anak berhenti memukul, dan hey... biarkan dia menangis dan meluapkan kekesalannya, itu jauh lebih baik daripada memukul.

Jika anak menjerit-jerit histeris dan Anda malu pada orang lain, heyy ingat-ingat juga, orang lain tidak akan pernah bertanggung jawab dengan anak Anda. Jika Anda tidak tahan, solusi lain adalah pulang! Jika terjadi di supermarket, lebih baik tidak jadi belanja! Merepotkan memang, tapi ini risiko yang harus Anda ambil. Jika terjadi di lingungan tetangga, bawa anak masuk rumah.

Kedua, biarkan anak mengeluarkan apa yang dirasakan dan dipikirkannya. “coba katakan pada ayah, kenapa kamu memukul”. Jika anak kesulitan mengungkapkan apa yang dia rasakan atau yang dia pikirkan, bantu dengan mendefinisikannya dengan kalimat-kalimat spesifik “Kamu marah ya sama mama karena tak mau belikan kamu mainan? Atau “kamu marah sama teman kamu? Apa yang membuat kamu marah? Coba ceritakan sama mama”.

Selain karena anak tengah mengujicoba perilaku, perilaku memukul anak juga semakin kekal terjadi salah satunya akibat anak memiliki kesulitan untuk mengkomunikasikan perasaan tidak nyamannya tadi melalu perkataan. Anak-anak ini tidak dilatih atau memang dibesarkan dari orangtua yang sering membungkam perasaan anak. Akibat mulutnya tersumbat maka ia mengeluarkan perasaan tidak nyaman tadi dengan jalan lain yaitu dengan tangannya (mukul). Akibat jarang didengarkan keluh kesahnya, curhatnya, saat anak punya masalah sebagian anak mengurung di kamar sendirian atau saat pulang banting pintu, lempar barang dan lain-lain.

Jika anak masih kesulitan bicara, jangan paksa ia bicara. Yang penting Anda sudah menghentiikan (sementara) perbuatannya. Anda boleh melanjutkannya nanti saat tentang di luar “TKP”. Di rumah, sebelum tidur, pada saat santai dan lain-lain. Anda punya banyak waktu untuk membahasnya nanti.

Ketiga, berikan batasan-batasan. Jika hanya baru sekali memukul mungkin tidakan pertama dan kedua sudah cukup, tidak usah bereaksi berlebihan lagi. Tapi jika anak mengulangi lagi, berikan tindakan yang ketiga ini. Memberikan batasan artinya anda memberikan “rule of the games” yang jelas mana yang diterima dan mana yang tidak diterima. “Marahnya boleh, memukulnya tidak diterima”.

Lalu berikan konsekuensi-konsekuensi jika anak melampaui batas-batas yang telah ditetapkan. Batas tanpa konsekuensi sering tidak berdampak apapun. Bagai macan tanpa gigi, demikian saya sering menyebutnya. “Nonton tv boleh, tapi paling lama dua jam ya!” ini adalah tindakan bagus, karena memiliki batasan yang jelas, hanya saja tanpa disertai konsekuensi akan percuma.

Konsekuensi apa yang akan anak dapatkan jika melebihi dua jam? Jika tidak ada, maka anak akan terus mencoba melanggar batas tersebut. Diberikan konsekuensi saja anak akan terus mencari cara melanggar batas apalagi tanpa konsekuensi.

“Saya matikan tv-nya jika sudah dua jam anak masih nonton”, demikian papar seorang ayah. Perhatikan ini bukanlah konsekuensi! Sebaba sama sekali tidak membuat anak rugi. Ingat anak punya otak dan kita sudah bahas semua anak melakukan semacam ‘penelitian’ perilaku. Dalam pikiran si anak akan muncul rumus “nanti lagi nonton aja terus, kalau lebih paling juga dimatiin sama ayah!”

Konsekuensi dibuat jika anak terus mencoba mengulangi perbuatan buruk tadi. Konsekuensi terbaik adalah apa yang membuat anak rugi! Tidak ada nonton tv dua hari jika nonton tv melebih batas yang ditetapkan adalah contoh yang benar-benar sejati konsekuensi! Tapi ini sekadar contoh. Anda bisa berkompromi dengan anak untuk mencari alternatif-alternatif konsekuensi lain yang membuat anak rugi.

Anda bisa mengajak anak bicara untuk menemukan konsekuensi apa yang mungkin anak dapatkan saat anak mengulangi perbuatan memukulnya tersebut. Misalnya “untuk setiap memukul mama, adik, kakak, atau sipapun kamu akan mama pisahkan selama 30 menit di kamar kamu agar kamu dapat merenungkan bahwa perbuatan kamu itu tidak diterima di keluarga ini dan karena itu kamu sementara tidak boleh bergabung dengan yang lain selama waktu pemisahan tersebut”.

Nanny 911 menyebutnya sebagai “time out”, jika anak Anda balita, anda boleh mengikuti a la Nanny dengan mendudukkan anak di kursi. Tapi saya cenderung mempraktikkan cara isolasi dikeluarkan dari rumah atau dimasukkan ke dalam kamar. Boleh tak setuju, karena anak-anak balita cenderung tidak merasa kerugian apapun jika hanya didudukkan di kursi. Anak-anak 5 tahun atau lebih dapat dimasukkan ke kamarnya sendiri (asal jangan kamar mandi atau gudang), sedangkan anak-anak di bawah 5 tahun jika situasi di dalam rumah isolanya dapat berupa dikeluarkan dari rumah. Anak 2 tahun cukup 2 menit, anak 3 tahun cukup 3 menit, dst sampai anak 5 tahun.

Atau jika pun Anda setuju dengan cara ini, Anda boleh cari konsekuensi alternatif yang lain saat anak memukul anak akan mendapatkan kerugian apa? Satu kali memukul, uang saku dikurang dengan jumlah tertentu? Satu kali memukul tidak ada nonton selama beberapa hari tertentu? Atau apapun terserah Anda yang membuat anak rugi.

Konsekuensi-konsekuensi ini bertujuan untuk menguatkan pikiran anak bahwa perbuatannya benar-benar tidak diterima dan karena itu setiap satu tindakan buruk dia akan menerima kerugian yang dia akan terima sendiri.

Keempat, bantu anak cari alternatif tindakan. Mungkin anak tidak tahu bahwa ada cara lain selain memukul untuk mengungkapkan ketidaksetujuan, kekecewaan, kemarahan dan lain-lain. Bukan hanya anak yang sering dipukul, anak-anak yang suka memukul juga harus dilatih kemampuan asertif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pendapat atau opini pada orang lain dengan cara yang tepat. Hal ini termasuk kemampuan untuk mengatakan TIDAK atas tekanan-tekanan yang dia alami saat dia merasa dirugikan dan hanya bukan dengan cara kekerasan.

Saat anak memukul temannya mungkin anak tidak tahu bahwa selain memukul dia juga bisa bicara jika marah dengan temannya. Nah bantu anak untuk menemukan ini. “Kalau kamu marah sama Andi temanmu, karena Andi merusak mainanmu, kamu boleh marahin dia, tapi bukan dengan memukul, kamu cukup ngomong kepada dia untuk bertanggung jawab meminta maaf. Tapi kalau Andi tidak mau melakukannya, kamu boleh tunjukkan bahwa kamu marah sama Andi dengan cara tidak meminjamkan mainan pada Andi sampai Andi meminta maaf”.

Anak-anak tentu saja tidak langsung terampil berkomunikasi seperti ini sebagaimana orangtua juga tidak langsung terampil berkomunikasi dengan anaknya seperti ini bukan? Karena itu teruslah bantu anak berlatih sebagaimana Anda teruslah berlatih. Bantu anak untuk bekerjasama mencari alterantif-alternatif tindakan yang bukan melulu dengan cara kekerasan.

Apapun tindakan, mungkin tidak langsung membuat anak berhenti, sebagian anak mungkin akan mencoba mengulangi perbuatannya. Karena itu tetaplah orangtua secara konsisten mencegah dan menunjukkan ketidaksetujuannya. Insya Allah susatu saat anak akan berhenti dan akan capek sendiri. Tetapi jika orangtua berhenti, maka justru anak akan semakin menjadi.

Untunglah Allah mengkreasikan sel-sel neuron anak yang jumlahnya neuron itu nyambung sedikit demi sedikit. Akibat ini, anak-anak ini memiliki abstraksi waktu yang terbatas. Akibat ini, meski anak-anak ini pernah saling menyakiti, sering berantem, thansk god, alhamdulillah, anak-anak kita tidak akan pernah memiliki rasa dendam. Hari ini berantem, sejam kemudian bisa jadi akur lagi. Kemarin berantem, hari ini akrab lagi. Maka, jangan sampai anak sudah berhenti, orangtua anak masih bersungut-sungut dan masih perang dingin dengan orangtua tetangga.

Tindakan apa yang dapat dilakukan di luar “TKP”? Orangtua hendaknya terus istiqomah untuk menanamkan nilai-nilai perilaku pada anak tentang baik dan buruk tersebut melalui cerita, dongeng, kisah, obrolan santai dengan anak, contoh-contoh tindakan di rumah.

Nilai-nilai ini akan menjadi program pikiran anak suatu saat anak membutuhkannya. Program pikiran ini akan menjadi ‘guidance’ dari perilakunya kelak. Nilai ini semacam software yang dibutuhkan semua anak. Jika perilaku anak adalah hardwarenya, maka nilai-nilai yang tertanam dalam pikiran anak itulah softwarenya. Ketahuilah semua anak butuh nilai ini, jika bukan kita yang menanamkan nilai-nilai ini pada anak, jika kita tidak menyediakan waktu untuk anak-anak kita, jika kita tidak menginvestasikan waktu untuk anak kita hari ini, maka akan ada pihak lain yang menanamkan nilai ini pada anak. Pihak lain ini bisa berupa: televisi, lingkungan pergaulan dan lain-lain. Relakah kita jika anak kita mendapatkan nilai-nilai perilaku hanya dari teman-teman gank-nya?

Ini hanya salah satu input yang mungkin pernah Anda terima. Tapi input apapun, dari buku, dari televisi, dari seminar, dari tulisan yang bertebaran, sama sekali tidak berguna jika orangtua terus menutup dirinya dengan berkata “teorinya si gampang, praktikknya susah!” Ketahuilah mungkin tidak mudah mempraktikkannya, perlu terus berlatih untuk melakukannya. Tetapi jika Anda masih memiliki paradigma ini dan masih terus berpikiran seperti ini, justru itu makin melemahkan diri Anda sendiri. Saya ingin tutup dengan perkatan yang mungkin dapat memotivasi diri Anda yang tengah giat belajar dan akan terus saya sering ungkapkan “bukankah akan ada perbedaan orangtua yang belajar dengan yang tidak?”

Jumat, 21 September 2012

Bagaimana Sich Mengatasi Adik Kakak yg Selalu Bertengkar setiap Hari...?


Sumber: di sini

Tanya:

Ayah aku Soraya (bukan nama sesungguhnya), please tolong dong minta tipsnya bagaimana sich mendidik anak yg bener.... anakku satu umur 5 tahun dan kakaknya um...ur 8 tahun dua-duanya laki2, waduh... tiap hari ribut terus...gak pernah tenang gak pernah damai, kalo di bilangin gak mau dengerin, paling2 sebentar mereka tenang dan akur, gak lama begitu lagi.

Aku tuh dulu sudah berhenti kerja maksudnya biar bisa handle anakku secara penuh, eh... nyatanya gak bisa juga dan gak gampang ya ternyata...., jauh lebih gampang mengatur kerjaan di kantor.

Mohon bantuannya dong apa saja sich kunci2 penting untuk bisa mendidik anak agar anakku bisa lebih teratur dan baik dirumah. Aku belakangan jadi sering ribut sama papanya gara2 masalah anak2 ini. Please help ya Ayah.... Urgent..urgent...urgent..!!!

Jawab:

Saya memahami perasaan bu Soraya memang benar mengurus pekerjaan kantor jauh lebih mudah dari pada mengurus prilaku anak, itu persis seperti komentar istri saya dirumah. Tapi jika kita mau belajar dan tahu caranya pasti bisa dan jauh lebih mudah.

Kunci utama mendidik anak adalah MEMBUAT ATURAN2 MAIN YG JELAS terhadap setiap kasus atau pelanggaran yg dilakukannya. Buatkan Satu aturan main untuk satu kasus misalnya menggoda kakak atau adik, bicara tidak sopan, meminjam barang tanpa izin, dst. Bisa jadi dalam sehari kita membuat 2 atau 3 aturan main. Itulah mengapa KUHP menjadi sangat tebal sekali karena tiap satu kasus di buat satu aturan main berikut konsekuensinya.

Aturan main yg baik adalah yg sederhana, jelas dan mudah di pahami anak, serta disepakati kedua belak pihak, dilengkapi dengan Rewards and Punishment/konsekuensi dari pelanggaran yg dilakukan oleh anak (buat tertulis jika perlu). Konsekuensi harus mengikat juga bagi si pembuatnya (orang tua), misalnya jika anak di batasi nonton tv hanya 2 jam sehari maka orang tua pun hanya boleh 2 jam per hari, jika kita mewajibkan mereka belajar, maka kita juga wajib menamani mereka belajar (itu bagian dari teladan orang tua).

Hukuman yg baik adalah yg mengurangi kesenangan anak spt bermain bola, sepeda, menonton film kesayangan dll (jika perlu buatlah daftarnya, dan di urutkan berdasarkan tingkat kesengannya), Hukuman bukan yg menyakiti fisik atau perasaan anak seperti memukul atau membentaknya atau tidak mengajaknya bicara selama beberapa jam.

Hukuman yg baik adalah hukuman yg dilaksanakan dengan tegas tanpa kompromi (jika ada kompromi maka akan menjadi banyak pelanggaran seperti yg terjadi pada LALU LINTAS KITA). Akan sangat baik jika terlihat anak akan melanggar kita ingatkan akan kesepakatan yg telah kita buat dan katakan; “Ingat kesepaktan kita..? “Mama Cuma ingin bantu kamu supaya tidak terkena hukuman lho... “

TEGAS merupakan Kunci keberhasilan pelaksanaan dari aturan2 yg kita sudah sepakati. Kita perlu Tegas dan konsisten terhadap upaya anak mengalihkan perhatian seperti dengan MENAWAR-NAWAR HUKUMAN YG SUDAH DISEPAKATI, MENGAJUKAN SYARAT2 TERTENTU BARU MAU MELAKSANAKAN, MENANGIS KERAS, MARAH DAN MEMBANTING2 AGAR KITA TIDAK JADI MENGHUKUM, atau apapun. Jangan ikut terpancing, tetap tenang. Katakan pada anak “Silahkan kamu Marah dan salurkan marahmu dengan baik, duduk diam dikursi hingga marahmu reda. Jika kamu melakukan perusakan maka kamu akan terkena aturan tentang merusak barang2 saat marah (aturannya lebih dulu dibuat). Silahkan pilih duduk dengan baik sampai marahmu reda atau mendapat hukuman tambahan karena merusak.”

TEGAS dan ADIL jangan pernah selalu membela Adiknya saja dan menyalahkan kakaknya (yg lebih besar harus mengalah), Tegas berbeda dengan marah, dimana letak perbedaannya, TEGAS adalah KONDISI EMOTIANAL STABIL dan Menggunakan Akal Sehat, Sedangkan Marah adalah kondisi melaksanakan aturan dalam kondisi EMOSIONAL TIDAK STABIL dan sering kali bukan untuk mendidik melainkan hanya untuk melampiaskan emosi kita saja. Tegas adalah tindakan konsisten melaksanakan aturan, Marah lebih sering pada upaya untuk menyerang dan menyakiti hati si anak..

Konsisten adalah sesuai antara ucapan dengan tindakan bukan NATO (No Action Talk Only) alias banyak mengancam tapi tidak pernah dilaksanakan karena lupa, tidak tega atau apapun. Misalnya Awas ya... nanti mama bilangin Papa lho...kamu tidak mau patuh menjalankan kesepakatan. Jadi Laksanakan aturan tanpa ragu atau tanpa dispensasi bagi penegakan aturan main, tanpa menunggu papa pulang atau siapapun, karena keraguan dan dispensasi orang tua adalah sumber awal perlawanan anak.

Mengapa kita sering tidak tega melaksanakan aturan yg kita buat sendiri, karena seringkali orang tua menetapkan aturan KETIKA SEDANG MARAH, hingga aturannya sering berlebihan dan tidak masuk akal untuk dilaksanakan oleh anak, dan SETELAH SADAR KEMBALI akhirnya tidak tega dan diberi dispensasi atau tidak jadi dilaksanakan.

Jadi jangan MARAH jika sedang membuat aturan pada anak atau JANGAN BUAT ATURAN jika sedang marah. Silahkan pilih mana yg paling cocok dengan kondisi ibu.

Kunci terakhir adalah KOMPAK. Satu suara antara Ayah dan Bunda dalam membuat dan melaksanakan aturan main berikut konsekuensi saat terjadi pelanggaran2. Jika antara PASANGAN masih belum KOMPAK DAN SATU SUARA maka semua penjelasan di atas akan menjadi SIA-SIA BELAKA. Dan anak-anak lah yg akan mengatur orang tuanya dengan aturan main yg dibuatnya sendiri. Jangan lupa setiap ada aturan baru untuk memberitahu pasangan agar kekompakan tetap terjaga.

Untuk melengkapi semua teknik dan caranya lebih detail ibu bisa membaca buku kami yg berjudul Mengapa Anak Saya suka melawan dan sulit di atur yg di terbitkan GRASINDO dan buku yg berjudul Ayah Edy Menjawab 100 persoalan Orang tua yg jawabannya tdk ada di kamus manapun yg diterbitkan oleh Qanita- Mizan.

Selamat mencoba, jika kita mau pasti bisa, dan bukannya jika saya bisa pasti mau..

Sumber Majalah Mother & Baby ; Rubrik Ayah Edy Menjawab, Buku 37 Kebiasaan Orang tua yg menghasilkan prilaku buruk anak

dan buku Ayah Edy Menjawab, Penerbit Qanita, Mizan.Lihat Selengkapnya

Kiat Menanamkan Disiplin pada Anak Usia Dini

Sumber: di sini

Disiplin adalah cara untuk mengoreksi atau memperbaiki dan mengajarkan anak tingkah laku yang baik tanpa merusak harga diri anak (tidak boleh membuat anak merasa jelek atau tidak berharga sebagai manusia).

Anak usia dini yang biasa disebut balita memiliki ciri-ciri sebagai berikut: rasa ingin tahu yang besar, senang bertanya, imajinasi yang tinggi, minat yang luas, tidak takut salah, berani mengambil resiko, senang hal-hal baru, senang menjelajah lingkungan dengan bergerak, senang melempar pasir, mendorong teman, merebut mainan dan sulit berbagi dalam berbagai hal.

Disiplin yang akan ditanamkan sejak usia dini dalam hal ini bertujuan untuk:
  • Mengajarkan tingkah laku apa yang diharapkan pendidik
  • Memberitahu kenapa anak harus melakukan tingkah laku tersebut
  • Mengajarkan tingkah laku mana yang tidak diharapkan pendidik
  • Memberitahu kenapa anak harus meninggalkan tingkah laku tersebut
  • Memberikan gambaran kepada anak bagaimana perasaan pendidik terhadap tingkah laku anak.
Kadang-kadang disiplin diartikan sebagai hukuman (“anak ini harus didisiplinkan” yang artinya “anak ini harus dihukum”). Sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara dua hal tersebut:

Disiplin
1. Mengajarkan anak bagaimana bertingkah laku

2. Membuat anak mengerti kenapa tingkah lakunya salah

3. Tidak merusak rasa percaya diri anak

4. Memberikan kesempatan anak untuk memperbaiki tingkah laku

5. Membuat anak bertanggung jawab atas tingkah lakunya

“Mama tidak tahu apa yang kamu inginkan, tolong katakan dengan baik agar mama tahu”

Hukuman
1. Mengatakan kepada anak bahwa anak buruk

2. Tidak mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan anak

3. Membuat anak kadang tidak mengerti hubungan antara hukuman dengan tingkah lakunya yang salah

4. Biasanya tidak ada hubungannya dengan kesalahan anak

“Ayo berhenti nangisnya, nanti mama kurung di kamar mandi! Mama pusing dengar kamu menangis. Kamu ingin apa sih!”

Kiat-kiat sukses dalam mendisiplinkan anak usia dini:

Gunakan komunikasi produktif, yaitu:
    a. Gunakan bahasa positif dan ucapkan dengan jelas (tidak bertele-tele)
        Contoh: katakan: “semuanya berjalan"
    b. KISS (keep information short & simple). Katakan dengan singkat apa yang ingin
        disampaikan dengan jelas dan padat
        Contoh: katakan:”semuanya duduk ibu akan segera cerita”
    c. Jelas dalam mengkritik dan memberikan pujian. Jika anak butuh dikritik maka pisahkan anak dari
        tingkah lakunya. Gambarkan dengan jelas kesalahan anak dan katakan apa yang harus dikerjakan.
    d. Terimalah perasaan anak. Dengarkan anak tanpa mengkritik dan menilai. Hargai pikiran dan perasaan
        anak, bahkan ketika mereka sedang marah atau bertingkah laku negatif. Latih anak untuk
        mengungkapkan marahnya dengan lisan daripada memukul atau menggigit.
    e. Mendengarkan anak dengan penuh perhatian. Salah satu cara untuk memperbaiki komusikasi adalah  
        mendengar aktif, jongkok untuk bisa melakukan kontak mata, beri perhatian penuh. Jadilah cermin
        dari   perasaannya dengan mencari nam bagi perasaannya.
     f. Bicaralah dengan ekspresi wajah, bahasa tubuh dan nada suara yang pas. Riset membuktikan bahwa  
        70%-80% pesan dikirim oleh bahasa tubuh dan nada suara. Buatlah ketiganya pas dengan pesan yang 
        ingin disampaikan.
    g. Kendalikan nada suara. Jangan berteriak atau memanggil dari tempat yang jauh dari anak (3 meter).
        Dekati anak dan bicara padanya dengan lembut.
    h. Waktu dan keyakinan. Disiplin butuh waktu, maka itu rencanakan setiap hari untuk bicara dan
        mendengar anak. Jangan lupa berikan keyakinan pada anak bahwa ibu serius dan peduli pada anak.

1. Penguatan positif

Riset membuktikan bahwa lebih efektif menggunakan penguat positif daripada menggunakan penguat negatif atau hukuman. Hukuman memang menghentikan tingkah laku negatif, namun tidak mengajarkan anak bagaimana memperbaiki tingkah lakunya. Lebih jauh lagi akan menumbuhkan rasadendam dan anak kehilangan harga dirinya.

Penguat positif memberikan kesempatan anak untuk bertingkah laku baik, menumbuhkan rasa percaya diri, memberikan rasa mandiri dan rasa berhasil. Ada beberapa penguat positif yaitu:
a. Penguat sosial berupa senyum, pujian verbal / lisan
b. Penguat kegiatan berupa hak-hak istimewa
c. Penguat primer berupa stiker, bintang balon. Kacang dll

Beberapa teknik yang dapat dilakukan jika anak bertingkah laku negatif:
1. Distraksi (mengalihkan perhatian)
2. Pengarahan positif. Berikan anak tingkah laku alternatif dan ajarkan penyaluran emosi yang bisa diterima
    secara sosial dan syar’i
3. Mengingatkan untuk memberi nama pada perasaan anak (verbalisasi perasaan)
4. Konsekuensi logis, yaitu apa yang terjadi harus secara alamiah mengikuti tingkah laku anak. Misalnya
    anak merubuhkan balok yang dibangun temannya, maka anak harus membangunnya kembali. Dengan
    demikian konsekuensi logis membantu anak untuk melihat adanya hubungan antara tingkah laku anak
    dengan dampak tingkah lakunya pada orang lain.
5. Memberi pilihan, membuat anak bertanggung jawab dengan tingkah lakunya. Caranya berikan anak dua
    pilihan yang mengarah pada tingkah laku yang diharapkan. Misalnya:”kamu mau membereskan balok 
    yang kecil dulu atau yang besar dulu?” bukan “kamu mau bereskan balok ini nggak?”.
6. Memberikan sentuhan yang menyenangkan. Usap punggung anak jika anak kelihatan kesal atau tegang.
7. Kontak mata sangat penting. Bahwa setiap kali guru melihat secara langsung pada anak, maka anak
    mengurangi tingkah laku negatifnya.
8. Time out, yaitu pengucilan/pengabaian sejenak. Jumlah atau lamanya time-out tergantung usianya, yaitu 1
   menit kali usia anak. Jelaskan kepada anak apa kesalahan mereka sehingga anak bisa memikirkannya
   ketika berada di ruang time out dan berikan kesimpulan “lain kali ingat kamu….”. Berikan penghargaan  
   saat anak kembali ke kelompoknya.



Mendisiplinkan Anak

Sumber: di sini

Setiap anak mempunyai kecenderungan sikap yang alami dan berbeda-beda dalam tumbuh kembangnya, orang tua harus memahami sikap alami ini, juga belajar menyesuaikan cara mendisiplinkan sesuai dengan umur, karena kalau tidak dikawatirkan justru hasilnya berkebalikan, bukankah tujuan dari mendisiplinkan supaya anak berkarakter baik.

Usia anak 0-18 bulan

Setiap bayi lahir dengan tidak berdaya ia sangat bergantung pada orang tua atau orang dewasa disekitarnya, bayi ingn selalu mendapat kehangatan, dekapan dan rasa nyaman, ada tujuan kenapa Tuhan membuat demikian yaitu agar si anak menjaadi mahluk prososial. Rasa hangat, cinta dan aman pada usia ini harus didapat oleh sang bayi, menangis adalah cara bayi menyampaikan ketidak nyamanannya, maka responlah dengan penuh kasih sayang maka bayi akan merasa nyaman, masa inilah fondasi bagi pribadi yang proporsional karena apapun yang diterima anak dari ibunya itu menjadi fondasi anak yang sedang berkembang.

Usia 18 bulan-3 tahun

Tahap ini anak menjadi pribadi yang mandiri dan cenderung egois dan anak juga cenderung keras kepala, kata yang sering muncul adalah: “tidak“, “tidak mau“, “aku saja“, “ini punyaku“, ini kata sering dipakai anak, sikap ini sebenarnya anak ingin menunjukan pada orang tua dan linkungannya : “saya ingin belajar melakukan sendiri, cara saya atau saya ingin mencoba“, orang tua jangan bersikap otoriter agar anak belajar percaya diri dan mandiri, dan tidak perlu kawatir dengan sikap anak diusia ini karena akan hilang dengan sendirinya, namun kenalkanlah anak dengan konsep berbagi, menghormati hak orang lain dengan cara menasehati penuh kasih sayang dan kesabaran, berilah anak kesempatan anak melakukan apa yanga anak inginkan kecuali hal itu tidak pantas dan membahayakan.

Orang tua bisa mendisiplinkan anak tanpa harus dengan kekerasan, karena kalau dengan kekerasan anak justru akan membantah, kaku dan merasa tidak dihargai pendapatnya dan anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tidk bisa menghargai orang lain, orang tua tidak diperbolehkan menerapkan pendidikan otoriter pada anak, galak dan tanpa kompromi, Jika anak biasa dibentak ia akan sulit menerima perintah orang tua, pola pikir yang keliru bila dengan cara kasar anak akan menurut, memang sepertinya memang membuat anak berhenti tetapi tidk membuat anak merasa bersalah dan akibatnya bisa menumpulkan hati nurani anak, padahal kita tahu bahwa hati nurani adalah instrument penting tempat tumbuhnya rasa penyesalan ketika berbuat salah.

Dampak dari cara pendisiplinan dengan cara yang keras pada kejiwaan anak

1. Anak apabila diperlakukan keras dan terbiasa dengan kekerasan ia akan belajarkan segala sesuatu.

2. Akan timbul rasa marah dan dendam pada anak jika sering dibentak atau dipukul, bukan rasa bersalah.

3. Anak berpikir bahwa bentakan atau pukulan adalah harga yang telah ia bayar karena perbuatan salah yang telah ia lakukan.

4. Orang tua akan bergantung pada bentakan dan pukulan untuk mendisiplinkan anak

5. Cara kekerasan dapat melukai hubungan orang tua dengan anak

Mendisiplinkan anak dengan cara yang lembut dan diharapkan anak dapat menghindari perbuatan jelek karena dorongan dalam dirinya bukan karena takut hukuman (external control).

1. Gunakan cara berdiskusi dengan anak untuk memberi nasehat dan pengertia terhadap apa yang dilarang untuk dilakuakan

2. Jangan langsung bersikap reaktif terhadap perbuatan anak.

3. Berilah pilihan terhadap anak anda agar dia merasa dihargai apapun yang anak putuskan.

4. Masukan anak kedalam ruangan selama 5-10 menit agar tidak kembali melakukan kesalahan dan tahu itu sebagai hukuman.

5. Beri apresiasi anak bila berbuat kebaikan.

6. Ajak anak membuat peraturan di rumah dan apa konsekuensinya bila melanggar aturan yang sudah disepakati bersama.

Bagaimana mendisiplinkan anak sesuai usianya?

Sumber: di sini

Usia 0-2 tahun

Anak seusia ini selalu memiliki rasa ingin tahu yang alami. Cara terbaik untuk mengajarkan disiplin adalah dengan menghilangkan godaan-godaan di sekeliling mereka. Jagalah lingkungan sekitar anak, misalnya menyingkirkan perangkat video, stereo, juga bahan-bahan pembersih yang mengandung zat kimia serta obat-obatan. Jika anak mendekati tempat yang tak dapat ia capai atau tempat berbahaya, katakan “jangan” dengan lembut, dan pindahkan dia dari tempat itu. Lalu, alihkan perhatiannya dengan aktivitas yang menarik.

Menasihati anak usia ini bisa menjadi cara mendisiplinkan yang pas jika usaha menarik perhatian Anda tidak berhasil. Anak yang sering memukul, menggigit, dan melemparkan makanan misalnya, harus diberitahu kenapa perilaku tersebut tidak benar. Sebaiknya, jauhkan ia dari kebiasaannya itu dan tenangkan di tempat yang nyaman.

Jangan pernah memukul atau menampar anak di usia ini. Bayi dan anak kecil sering tidak dapat mengerti apa hubungan perilaku mereka dengan hukuman. Jika Anda memukulnya, ia hanya akan merasakan sakit. Jangan lupa, anak akan belajar dari melihat perilaku Anda. Pastikan perilaku Anda menjadi contoh yang baik.

Usia 3-5 tahun

Ketika anak mulai tumbuh dan memahami hubungan antara tindakan dan konsekuensi, pastikan Anda mulai menciptakan aturan-aturan yang berlaku di rumah. Jelaskan pula, apa yang Anda harapkan dari mereka sebelum Anda menghukum mereka untuk perilaku tertentu.

Contohnya, ketika anak mencoretkan crayon di dinding ruang tamu, Anda harus mendiskusikan, kenapa hal itu tak boleh ia lakukan, dan jelaskan apa yang akan terjadi jika ia melakukannya lagi. Jelaskan pada mereka bahwa mereka harus membantu membersihkan dinding dan tak boleh menggunakan crayon-nya lagi. Jika ia melakukannya lagi dengan crayon tersebut di dinding, ingatkan bahwa crayon digunakan untuk menggambar di kertas dan tekankan konsekuensinya jika ia melakukannya di dinding lagi.

Lebih dini orang tua mendisiplinkan tindakan dan konsekuensi ini, hasilnya akan lebih baik. Meski ada kalanya orang tua lebih mudah tidak memedulikan perilaku buruk anak, atau memberikan hukuman, yang malah akan menciptakan kebiasaan buruk. Konsisten adalah kunci efektif dalam hal menerapkan disiplin. Orang tua harus membuat peraturan dan konsisten terhadapnya.

Bersamaan dengan menentukan perilaku bagaimana yang harus dihukum, jangan lupa beri penghargaan pada perilaku positif. Disiplin bukan sekadar hukuman. Orang tua perlu mengenali perilaku yang baik. Contohnya, Anda dapat mengatakan, “Ibu bangga padamu yang mau meminjamkan mainan pada teman-teman.” Pujilah secara spesifik perilaku anak Anda. Jangan sekadar mengucapkan kata “bagus.”

Usia 6-8 tahun

Waktu istirahat dan konsekuensi merupakan dua hal efektif dalam mendisiplinkan anak usia ini. Sekali lagi, konsekuensi adalah hal yang penting. Peganglah janji. Anak harus percaya bahwa yang Anda katakan adalah yang Anda maksudkan, tanpa ada kebohongan. Anda harus konsisten dengan apa yang Anda katakan.

Hati-hati, jangan membuat hukuman yang mengada-ada, misalnya, “Kalau kamu menutup pintu keras-keras, kamu tak boleh menonton teve selamanya!” Contoh lain, jika tiba-tiba anak menangis atau marah-marah di mobil dalam perjalanan berlibur, lalu Anda mengancam akan berputar kembali ke rumah jika ia terus menangis, pastikan Anda benar-benar melakukannya. Kehilangan kesempatan pergi ke suatu tempat tidak ada artinya dibandingkan menunjukkan kredibilitas Anda di depan anak.

Hukuman yang besar akan menghilangkan kekuatan Anda sebagai orang tua. Jika Anda menghukum anak Anda sebulan penuh, ia tidak akan termotivasi untuk mengubah perilakunya karena ia merasa semua haknya telah hilang.

Usia 9-12 tahun

Anak di usia ini, sama seperti lainnya, dapat diajarkan disiplin dengan konsekuensi yang alamiah. Sejalan dengan kedewasaan serta tuntutan kemandirian dan tanggung jawabnya, mengajari mereka menghadapi konsekuensi atas perilakunya adalah metode disiplin yang efektif. Contohnya, ketika anak yang duduk di kelas 5 SD tidak mengerjakan pekerjaan rumahya sebelum tidur, haruskah Anda menyuruhnya tetap bangun atau menolongnya menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut?

Sebaiknya Anda tidak menolongnya. Karena jika Anda membantunya mengerjakan pe-er, maka Anda tidak akan memberi kesempatan belajar dalam hidupnya. Jika ia tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya lebih awal, ia akan pergi ke sekolah keesokan harinya dengan mendapatkan nilai yang jelek. Ini akan menyelamatkan anak Anda dari kesalahan selanjutnya. Dan paa akhirnya, ia akan mengetahui perilaku yang baik itu seperti apa, dan tidak akan melakukan kesalahan lagi. Namun, jika anak terlihat tidak mempelajari konsekuensinya, Anda harus membuat konsekuensi yang Anda buat sendiri untuk menolong mereka mengatur perilakunya dengan efektif.

Usia 13 tahun ke atas

Anak pada usia ini telah mengetahui apa yang ia inginkan dan tahu apa maksud perkataan Anda tentang konsekuensi. Namun, jangan memperlemah penjagaan. Disiplin tetap penting, apalagi bagi anak yang menginjak usia remaja. Seperti anak usia 4 tahun yang membutuhkan waktu tidur yang tepat, anak remaja pun harus mengetahui batas-batas. Pastikan Anda membuat peraturan yang menyangkut waktu mengerjakan pekerjaan rumah, waktu kunjungan teman, jam malam, serta diskusikan apa yang terbaik baginya sebelum terjadi kesalahpahaman. Anak, meskipun sering memprotes sesuatu, akan menyadari bahwa ia berada dalam pengawasan.

Percaya atau tidak, remaja masih menginginkan dan membutuhkan Anda untuk menentukan batas-batas dan menetapkan perintah dalam hidupnya, meskipun Anda mengizinkan mereka memiliki kebebasan dan tanggung jawab.

Ketika anak keluar dari peraturan, menghilangkan hak istimewa mereka dapat menjadi jalan yang baik. Ketika Anda mengizinkan anak boleh belajar ke rumah teman selama seminggu terus-terusan misalnya, pastikan Anda mendiskusikan dengan mereka kenapa pulang lewat jam malam tidak dapat diterima dan dapat membuat khawatir.

Penting juga untuk memberi kontrol pada kehidupan remaja. Hal ini seringkali memang menimbulkan perlawanan, tapi ini akan menolong mereka menghargai keputusan yang harus Anda buat untuk mereka. Anda dapat mengizinkan mereka membuat keputusan sendiri yang berkaitan dengan pakaian, model rambut, atau kondisi kamar. Ketika ia beranjak makin dewasa, ia akan mampu mengontrol dirinya atas kegiatannya sendiri.

Referensi.Tabloidnova.



Cara Mendisiplinkan Anak Berdasarkan Umur

Sumber: di sini

Mengajarkan disiplin pada anak memang bukan perkara mudah, tapi jika hal itu berhasil dilakukan maka kepuasan besar akan dirasakan orangtua. Dalam tahap perkembangannya, cara mendisiplinkan anak pastilah berbeda. Bagaimana caranya?

Penting bagi orangtua untuk menentukan dan mengajarkan anak-anak hal apa saja yang bisa diterima dan yang tidak dapat diterima, serta menetapkan batasan-batasan tapi tetap membuat anak merasa nyaman.

Dilansir dari SheKnows, Sabtu (17/7/2010), berikut cara mendisiplikan anak berdasarkan tingkat usia:

Balita (0-5 tahun)

Bila balita Anda rewel dan tak bisa diatur, jangan tangani dengan membiarkannya, karena hal tersebut hanya akan membuatnya semakin gelisah. Selain itu, jangan menghukum atau memarahi balita yang nakal.

Kenali hal-hal yang membuatnya tak bisa diatur. Lapar, lelah dan merasa terganggu mungkin menjadi alasannya. Mendisiplinkan balita cukup dengan memberi penjelasan yang baik dan dengan bahasa yang positif. Balita juga biasanya menyukai sentuhan lembut dari ibu, karena dengan begitu ia merasa terlindungi.

Anak-anak (6-10 tahun)

Jadikan waktu pertemuan keluarga sebagai ajang untuk mendisplinkan anak. Ajarkan anak untuk bertanggungjawab sejak dini, misalnya dengan mengajarkannya melakukan tugas rutinitas rumah.

Selain itu, jangan memberinya hukuman bila melakukan hal yang salah. Bicaralah dari hati ke hati, beri anak penjelasan bahwa yang ia lakukan salah dan ajarkan hal yang seharusnya ia lakukan.

Tween atau ABG (11-14 tahun)

Ketika bergerak ke arah remaja, anak biasanya akan mencari bukti agar orangtua tidak memperlakukannya seperti anak kecil lagi. Maka, bicaralah dengan tegas dan percaya diri, serta gunakan kata seminimum mungkin ketika Anda memintanya melakukan sesuatu.

Berikan penjelasan tentang mengapa si anak perlu melakukan sesuatu dan hanya lakukan hal tersebut bila ia bertanya tanpa merengek atau disertai dengan tindakan kasar atau lancang.

Hindari perlawanan, dengarkan si anak ketika ia sedang marah, tetapi beri juga dorongan untuk berdiskusi dan bernegosiasi dengannya. Berilah ia penjelasan dengan bahasa yang positif.

Remaja (15-18 tahun)

Mendisiplinkan remaja adalah hal besar yang membantu Anda untuk membimbingnya menuju tahap kedewasaan yang lebih baik.

Menciptakan kesiapan dengan meminta pendapat si anak tentang segala hal yang menurutnya benar atau salah perlu dilakukan. Karena orangtua juga perlu mengetahui bagaimana cara pandang anak terhadap sesuatu hal.

Untuk bicara dengan remaja, gunakan cara tulus yang menghargainya. Hal tersebut bisa membuat Anda lebih memahami sudut pandang saat ia memilah-milah kejadian dalam kehidupannya.

Tugas Anda sekarang adalah membantu si anak menemukan suaranya sendiri pada kepekaan hidup yang lebih baik untuk siap menghadapi tahap kedewasaan.

Bagaimana Cara Mendisiplinkan Anak Tanpa Memukul?

Sumber: di sini

Setiap keluarga mempunyai cara sendiri-sendiri untuk menanamkan disiplin pada anak. Walau berbeda, sebenarnya tujuannya sama, yaitu menangani anak bandel atau yang bertingkah nakal.

Ketika Anda melihat si kecil berbuat kenakalan, entah itu di rumah, saat jalan-jalan di mal, atau ketika berkunjung rumah tetangga, mungkin secara refleks Anda akan berteriak, “Berhenti!” Atau, bisa jadi Anda akan memukul si kecil agar tidak melanjutkan perbuatannya.

Tahukah Anda, menurut pakar psikologi anak, menangani anak nakal dengan cara berteriak atau memukul dapat menimbulkan efek negatif pada emosi si kecil. Agar disiplin bisa dilatih sejak dini, kenali cara lain yang lebih efektif untuk buah hati Anda, seperti dikutip dari laman Modern Mom.

Beda usia, beda cara

Pertimbangkan usia anak Anda. Cara menanamkan disiplin pada anak tidak sama di tiap usia. Beda usia, beda cara. Misalnya, untuk anak berusia 15 bulan, Anda bisa menggunakan cara pengalihan perhatian untuk membuatnya disiplin. Berbeda dari anak usia yang lebih muda atau lebih tua dari itu, Anda mengabaikan mereka jika merengek-rengek atau bertindak tidak tepat, untuk mendapatkan perhatian Anda.

Beri contoh

Contohkan perilaku yang baik agar si kecil menirunya. Menurut penelitian, teknik itu selalu direspon baik oleh anak-anak. Sebab, memberi si kecil contoh dari apa yang harus dilakukan, bukan apa yang tidak boleh dilakukan.

Anak-anak lebih mudah meniru perilaku orang dewasa. Mereka lebih mudah menerima pendekatan itu dari pada diberi tahu apa yang tidak boleh mereka lakukan.

Berpegang pada aturan

Tetaplah berpegang pada aturan yang Anda tetapkan untuk buah hati. Setelah memberitahu harapan Anda pada si kecil, hal ini akan memperkuat perilaku yang ingin Anda lihat dari si kecil.

Beri penghargaan

Anda harus ingat untuk selalu menghargai anak Anda setiap kali dia menunjukkan perilaku baik. Lontarkan pujian kepada si kecil tidak hanya lewat kata-kata, tapi juga menawarkan hadiah favoritnya. Si kecil tentu akan merasa Anda benar-benar bangga pada dirinya sendiri.

Ungkapkan ketidaksetujuan Anda

Selalu ungkapkan pendapat Anda jika Anda merasa tingkahnya tidak tepat. Jelaskan kepadanya tentang perilaku yang tidak baik itu. Mengekspresikan pendapat Anda merupakan pendidikan keluarga yang bagus. Ini akan efektif mengubah perilaku si kecil.

Konsekuensi

Jika anak tidak disiplin atau melakukan kesalahan untuk pertama kalinya, segera ungkapkan kalau ia bersalah. Hal itu untuk menghindari ia melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Katakan juga padanya setiap kesalahan memiliki konsekuensi, salah satunya adalah hukuman. Hukuman bisa berupa tidak mengizinkannya menonton televisi beberapa hari atau memotong uang jajannya sementara waktu.

Jangan berikan hukuman fisik seperti memukul, hal itu hanya akan menimbulkan trauma dan bisa meregangkan hubungan Anda dengannya. Memberikan hukuman atau konsekuensi atas kesalahan anak juga melatih perkembangan psikologisnya. Mereka jadi lebih peka dan berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu kesalahan.

Rabu, 05 September 2012

Kelahiran Gibran

Jumat malam kita sudah check in di RSAI Her**** Tangerang untuk persiapan lahiran putra ke-2, pergi bertiga aku, ayah, Zidan seperti check-in hotel aja kalo kita jalan-jalan...........

Gak enak rasanya kalo mau lahiran menitipkan Zidan di rumah mertua secara mertua lagi repot renov rumah, dan Zidan juga gak bisa jauh dari nenen kalo mau tidur, setelah registrasi dan CTG kita pindah kamar aku diharuskan puasa setelah makan malam, Zidan habis nenen tidur ama ayah di Sofa. rasanya kasian aja liat anak dah mulai harus dibiasakan mandiripagi-pagi tanggal 01 September 2012 setelah sarapan dan bersihin badan Zidan kita masih punya waktu untuk menunggu operasi, tapi aku seperti biasa ketakutan dan nangis takut aja kalo denger kata opersi, sesampainya di ruang operasi dan peralatan sudah siap dan perut siap untuk "dibelek" pada pukul 08.58 aku bersyukur masih diberi rasa sadar tidak seperti lahiran Zidan yg gak ingat apa-apa masih denger waktu bayi diambil dan menjerit nangis.

Subhanallah kuasa Allah, aku sempet gak percaya sudah lahiran dan bayi sudah ada di dunia hehehe, perawat langsung bawa bayi ke payudara untuk dikenalin puting dan dicium-ciumkan ke mukaku, Alhamdulillah semuanya lancar meski gak IMD tapi setidaknya sudah dikenalin untuk menyusui.

Setelah ayah adzanin bayi, si dede dibawa ke ruang observasi bayi aku juga sama dibawa ke ruang observasi ibu2 pasca SC, yang bikin gak enaknya sekarang pelayanan RS sekarang lambat gak seprofesional RS bagus, ayah sempet kesel karena pelayanannya untuk VIP aja disuruh keluar kamar ketika aku mau opersi SC, mudah2an nanti pelayanan RSAI Her**** TNG lebih bagus lagi.

Senin waktunya siap-siap pulang rumah, berhubung bulan ini kita sibuk buat pindahan dan urus - urus Administrasi si kecil nanti maka nama bayipun harus sudah ada supaya semuanya lancar, setelah banyak masukan dan pilihan kita, kita beri anak nama anak kita Gibran Althaf Rahman.

Gibran: turunan dari kata JABARA dalam bahasa Arab, yang artinya "memulihkan, membetulkan, atau "menyatukan secara harmonis bagian-bagian yang tidak seimbang"

Althaf: Lemah lembut, orang yang lembut dalam berakhlak dan bertutur kata pada sesamanya agar dihormati oleh sesamanya.

Rahman: Maha Pemurah


Gibran dan Ayah


Untungnya sekarang lahiran di RS Her**** bisa ditemenin ama keluarga jadi bisa boyongan semua termasuk Zidan tidur, mandi, main, makan di RS siapa lagi yang ngurusin Zidan kalo bukan ayah, semuanya dibantuin ayah, makasih banyak ayah, suami siaga hehehe, meski amatiran tapi semuanya beres.