-->

Rabu, 22 Februari 2017

Membangun dan Mendidik Kemandirian pada Anak

Fasil : Siti Mashunah
Ketua kelas : Nani Nurhasanah
Koordinator bulan Februari : Yunita Dury
Hari/tgl : Rabu, 22 Februari 2017

Materi 2 : Melatih Kemandirian Anak

Membangun dan Mendidik Kemandirian pada Anak


Membangun dan mendidik kemandirian anak bukanlah pekerjaan yang mudah, terutama melatih anak mandiri ketika masih di usia dini. Secara alamiah anak sebenarnya cenderung untuk belajar memiliki kemandirian "Yes, I can!" Kata-kata ajaib ini merupakan sinyal dari kesadaran seorang anak terhadap diri dan kemampuannya sendiri untuk menentukan dirinya.

Orang tua yang bijaksana memanfaatkan keinginan akan kemandirian ini dengan membiarkan anak-anak mereka mempraktikkan keterampilan mereka yang baru muncul sesering mungkin pada lingkungan yang aman atau ramah anak. Dukungan orang tua yang seperti ini memang sangat dibutuhkan anak agar dapat melakukan berbagai hal secara mandiri, termasuk aktivitas yang masih relatif sulit.

Namun realita yang ada, orang tua terkadang merasa tidak tega, tidak bersabar, khawatir yang lahir karena bentuk rasa sayang yang berlebihan kepada anak.  Inilah salah satu penyebab dari kegagalan anak dalam proses kemandiriannya. Oleh karena itu, orang tua perlu memperbaiki sikap mental agar tidak mudah khawatir dengan anak.

Faktor lingkungan juga terkadang ikut andil dalam kegagalan proses kemandirian anak. Dorongan negatif dari lingkungan sekitar yang terkadang menganggap apa yang orang tua lakukan untuk melatih kemandirian anaknya sebagai bentuk eksploitasi. Padahal yang paling terpenting dan utama dalam membangun dan mendidik kemandirian anak adalah ketika anak merasa senang dalam melakukan aktivitas kemandiriannya tanpa ada rasa takut ataupun karena ada rasa tekanan dari luar.

Perlu diketahui bahwa kemandirian anak usia dini berbeda dengan kemandirian remaja ataupun orang dewasa. Jika pengertian mandiri untuk remaja dan orang dewasa adalah kemampuan seseorang untuk bertanggung jawab atas apa yang dilakukan tanpa membebani orang lain, sedangkan untuk anak usia dini adalah kemampuan yang disesuaikan perkembangan usianya.

Adapun jenis kemandirian anak yang perlu dibangun adalah sebagai berikut:

*1. Kemandirian dalam Keterampilan Hidup*

Prinsip pokok menumbuhkan kemandirian dalam keterampilan hidup adalah memberi kesempatan, bukan melatih. Anak secara alamiah memang cenderung berusaha belajar melakukan berbagai keterampilan hidup sehari-hari secara mandiri, semisal makan, mengenakan baju sendiri, mandiri sendiri, dsb.

Jika kita mengizinkan anak melakukan berbagai aktivitas hidup sehari-hari tersebut secara mandiri, lambat laun akan terampil. Yang kita perlukan hanyalah kesediaan mendampingi sehingga anak tidak melakukan terlalu banyak kesalahan, meskipun kita tetap harus menyadari bahwa untuk mencapai keterampilan perlu latihan yang banyak dengan berbagai kesalahannya.

Kemandirian itu akan lebih meningkat kualitasnya jika orangtua secara sengaja memberi rangsangan kepada anak berupa tantangan untuk mengerjakan yang lebih rumit dan sulit. Ini bukan saja melatih kemandirian dalam urusan keterampilan hidup sehari-hari, melainkan juga menumbuhkan kemandirian secara emosional.

*2. Kemandirian Psikososial*

Bertengkar itu tidak baik. Tetapi menghentikan pertengkaran begitu saja, menjadikan anak kehilangan kesempatan untuk belajar menyelesaikan konflik. Kita memang harus menengahi dan adakalanya menghentikan. Tetapi kita juga harus membantu anak menggali masalahnya, merunut sebabnya dan menawarkan jalan keluar kepada anak, baik dengan menunjukkan berbagai alternatif tindakan yang dapat diambil maupun menanyakan kepada anak tentang apa saja yang lebih baik untuk dilakukan.

Apa yang terjadi jika kita bertindak keras terhadap berbagai konflik yang terjadi antar anak? Banyak hal,  salah satunya anak tidak berani mengambil sikap yang berbeda dengan teman-temannya, meskipun dia tahu bahwa sikap itulah yang seharusnya dia ambil. Padahal kita seharusnya menanamkan pada diri anak sikap untuk mendahulukan prinsip daripada harmoni. Rukun itu penting, tapi hidup dengan berpegang pada prinsip yang benar itu jauh lebih penting. Kita tanamkan kepada mereka _principles over harmony_ , melakukan hal-hal yang benar semata-mata karena prinsip. Bukan karena ada orang lain yang memaksa anak melakukannya.

Lalu apakah yang harus kita lakukan jika anak sedang bertengkar? Apakah kita biarkan mereka? Tidak. Kita tidak boleh membiarkan. Kita harus menangani. Membiarkan anak bertengkar dengan keyakinan mereka akan mampu menyelesaikan sendiri dapat memicu terjadi situasi submisif, yakni siapa kuat dia yang menang. Dan inilah yang sedang terjadi di negeri kita. Bahkan urusan antre pun, siapa yang kuat dia yang duluan. Dampaknya akan sangat luas dan bisa menakutkan.

Kita juga dapat melatih kemandirian psikososial anak secara lebih luas. Melatih _toilet trainee_ beserta adab-adabnya. Melatihnya bagaimana adab ketika bertamu atau menerima tamu, adab berbicara kepada yang lebih tua atau yang lebih muda, dan lain sebagainya.

*3. Kemandirian Belajar*

Inilah proses serius kita hari ini. Banyak sekolah yang bersibuk mengajari anak agar terampil membaca, menulis semenjak usia dini, tapi lupa bahwa yang paling mendasar adalah sikap positif, kemauan yang kuat, dorongan dan kebanggaan akan kegiatan tersebut.

Jika anak memiliki kemauan yang kuat untuk belajar disertai keyakinan (bukan hanya paham) bahwa belajar itu penting, maka kita dapat berharap anak akan cenderung menjadi pembelajar mandiri saat mereka memasuki usia 10 tahun. Sebaliknya jika kita hanya mengajari mereka berbagai kecakapan belajar semisal membaca, menulis, dan berhitung di usia dini, mungkin awalnya mereka menggebu-gebu untuk mempelajari semua itu, namun di usia 10 tahun justru menjadi titik balik berupa kejenuhan serta keengganan belajar.

*4. Kemandirian Emosional*

Bekal pokok dari kemandirian emosional adalah pengenalan diri yang diikuti dengan penerimaan diri, kemudian pengendalian diri. Ini memerlukan peran orangtua dalam mengajak anak untuk mengenali kelebihan-kelebihan, kekurangan, kemampuan dan kelemahannya sendiri. Pada saat yang sama orangtua menunjukkan penerimaan terhadap kekurangan maupun kelemahan anak, tetapi bukan berarti membiarkan anak melemahkan dirinya sendiri. Malas dan enggan mengatasi masalah merupakan bentuk sikap melemahkan diri sendiri. Orangtua perlu menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Maka tak patut merendahkan orang lain, tak pantas pula meninggikan diri. Lebih-lebih untuk sesuatu yang diperoleh tanpa melakukan usaha apa pun alias sepenuhnya merupakan pemberian semenjak lahir.

Yang juga penting untuk dilakukan adalah mendampingi anak mengenali kebutuhannya. Balita pun tak perlu rewel jika ia telah dapat mengenali kebutuhannya untuk istirahat. Perlu juga mendampingi mereka untuk belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan perlu dipenuhi, meski tak serta-merta. Sedangkan keinginan, adakalanya dapat dituruti, tetapi tetap perlu belajar menahan diri. Semua ini ditumbuhkan bersamaan dengan menguatkan dorongan sekaligus kemampuan bertanggung-jawab, termasuk berkait dengan konsekuensi atas berbagai tindakan mereka.

Salam Ibu Profesional,

/Tim Fasilitator Bunda Sayang/

📚Sumber bacaan :

Muhammad Fauzil Adhim, Anak Perlu Belajar Mandiri, Majalah Hidayatullah edisi November 2014.

Ciri Anak Mandiri dan Tahapan Perkembangan Kemandirian, www.AlMaghribiCendekia.com, 2015

William Sears, M.D., Anak Cerdas: Peranan Orang Tua dalam Mewujudkannya, Emerald Publishing, Jakarta 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar